DESENTRALISASI
PENDIDIKAN
(Analisi
terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah)
Hasil
Revisi Makalah Ini di Susun Guna Memenuhi Tugas Ujian Semester I
Mata
Kuliah : Analisis Kebijakan Pendidikan Nasional
Dosen Pengampu:
Dr. Sembodo Ardi Widodo, M. Ag
Oleh
Ahmad
Aziz Fanani
(1120410073)
PRODI
PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM
PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Peningkatan kualitas pendidikan
merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui pengembangan
serta perbaikan kurikulum dan system evaluasi, perbaikan sarana pendidikan,
pengembangan dan pengadaan materi ajar, pelatihan bagi guru dan tenaga
kependidikan, serta pembinaan manajemen sekolah. Namun, pada kenyataannya upaya
tersebut belum cukup berarti meningkatkan kualitas pendidikan.
Faktor-faktor penyebab
kekurangberhasilan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan antara lain
karena strategi pembangunan pendidikan selama ini bersifat input-oriented
serta pengelolaan pendidikan yang sentralistis dan macro-orinted, dimana
semua diatur semua diatur oleh birokrasi ditingkat pusat.[1] Agar
sekolah bisa berjalan secara optimal, sekolah perlu diberikan kepercayaan dan
wewenang serta kesempatan untuk mengelola sendiri potensi dirinya sesuai
kondisi-kondisi objektif didalamnya dan sejalan dengan kebijakan pemerintah
mengenai pendidikan nasional dan desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.[2] Jadi
desentralisasi pendidikan disini adalah penyerahan wewenang secara luas untuk
pendidikan. Dalam makalah ini akan membahas secara khusus kebijakan
desentralisasi pendidikan. Apa latar belakang kemunculan kebijakan tersebut? bagaimana
implementasinya dalam pendidikan? seberapa efektif kebijakan tersebut bagi
kemajuan pendidikan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Landasan Yuridis Kebijakan tentang Desentralisasi Pendidikan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah yang secara resmi sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999, diterangkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.[3] Urusan pemerintah dibagi sedemikian rupa
antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dijelaskan pula selanjutnya yaitu
pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan pemerintah.[4]
Selanjutnya pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.[5]
Sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi yang
mengarah pada pendidikan yaitu penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber
daya manusia potensial.[6]
B.
Latar Belakang Penerapan
Desentralisasi
Pemberian otonomi pendidikan yang luas kepada sekolah
merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dimasyarakat
serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi menuntut
pendekatan manajemen yang lebih kondusif disekolah agar dapat mengakomodasi
seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen masyarakat secara
efektif guna mendukung kemajuan dan system yang ada disekolah. Dengan landasan
tersebut, pemerintah mencoba untuk menerapkan desentralisasi pendidikan sebagai
solusi.
Selain hal diatas, ada beberapa faktor yang menjadi
pendorong penerapan desentralisasi.[7]
Pertama, tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator,
pebisnis, dan penghimpunan guru untuk turut serta untuk mengontrol sekolah dan
menilai kualitas pendidikan. Kedua, anggapan bahwa struktur pendidikan
yang berpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi
siswa bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk
merespons secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang
beragam. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi
tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam
memperoleh bantuan dan pendanaan.
C. Pengertian Desentralilasi
Pendidikan
Secara umum
desentralisai pendidikan adalah pelimpahan wewenang (autority) dan tanggung
jawab (responsibility) dari institusi pendidikan tingkat pusat kepada institusi
pendidikan di tingkat daerah hingga pada tingkat sekolah. Desentralisasi
mengandung arti pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelola
pendidikan yang ada di daerah pada tingkat propinsi maupun lokal, sebagai
perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan
pendidikan di daerah.[8] (Revisi)
Dari definisi di
atas, dapat simpulkan bahwa desentralisasi pendidikan adalah pelimpahan kewenangan
yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada dewan sekolah untuk
menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas
lokal yang dapat dipertanggung jawabkan kepada orang tua dan komunitas. Secara
konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu : pertama,
desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan
dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan
distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian
kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan
otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintah dari pusat ke daerah,
sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian
kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi
untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Apabila dilihat
dari wewenang yang diberikan, desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi.[9] Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu. Hal ini
bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih sekedar memindahkan
tanggung jawab manajemen dari pusat tetapi pemerintah pusat masih mempunyai
kontrol penuh. Delegasi adalah jenis desentralisasi dalam bentuk yang lebih
defensif, yaitu lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang kepada pemirintah
ditingkat-tingkat yang lebih rendah atau bahkan ke organisasi-organisasi
otonom. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling besar pengaruhnya,
yakni menyerahkan wewenang keuangan, administrasi, atau urusan paedagogik
secara permanent dan tidak dapat dibatalkan secara tiba-tiba oleh pejabat di
pusat begitu saja.
Dalam
menjalankan konsep tersebut terlihat bahwa wewenang untuk mengatur perencanaan,
menajemen, keuangan, dan kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan kegiatan
sekolah, tetapi unsur-unsur fundamental sekolah, seperti paedagogik, kurikulum,
organisasi, dan bahkan evaluasi tetap berada di tangan pemerintah pusat, dalam
hal ini Depdiknas.[10]
D.
Tujuan Desentralisasi Pendidikan (Revisi)
Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi
pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan
yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa.
Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang
lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang
dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah
lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisi
pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam
penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal
dari pemerintah dan masyarakat).[11]
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi
pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas
dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan
lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua
dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling
menentukan. Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di
banyak Negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara
keseluruhan dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses
pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek
pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang
bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah.
E.
Desentralisasi Pendidikan di
Indonesia (Revisi)
Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia secara
sentralistis yang hampir kasat mata sudah kelihatan sejak rezim orde baru.
Banyak yang menilai bahwa pendidikan pada masa orba tersebut didesain untuk
kepentingan politik kala itu. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-pelatihan,
serta program pendidikan lain lebih diarahkan kepada peneguhan nilai-nilai yang
kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Kondisi tersebut telah
dikritik secara habis-habisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini banyak
mengkritik system pendidikan nasional pada masa rezim orba yang cenderung
sentralistik dan banyak diintervensi oleh penguasa. Pendidikan kemudian hanya
berfungsi sebagai alat (media) untuk melanggengkan kekuasaan rezim.[12]
Beberapa kelemahan dan ketimpangan pendidikan yang
dikelola secara sentralistis ini sudah kelihatan sejak dimulai dari
pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai dengan peranan pusat yang
sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri). Misalnya, Pusat sangat
dominan dan menentukan dalam setiap keputusan tentang proses rekrutmen,
pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru. Demikian pula dari aspek
keuangan. Gaji guru sekolah negeri ditetapkan dan dibayarkan pemerintah,
meskipun gaji guru SD pengelolaannya dilaksanakan oleh Propinsi, sedangkan gaji
guru SLTP dan SLTA langsung oleh Pusat melalui KPKN. Dari segi dana di luar
gaji yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing sekolah, diberikan dengan
cara alokasi dana dari pusat ke daerah (kabupaten/kota) berdasarkan jumlah
sekolah yang ada di daerah tersebut. Mekanisme alokasi dana dilakukan dengan
perhitungan sejumlah dana yang sama untuk setiap sekolah berdasarkan jenjang
pendidikan, tanpa memperhitungkan jumlah murid, lokasi ataupun tingkat
kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara seperti ini jelas mengandung banyak
kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi pemerataan (equity) dalam
pengalokasian dana ke masing-masing sekolah.[13]
Memasuki Indonesia baru yang ditandai dengan gerakan
reformasi total, maka pada tahun 1999 mulailah dicetuskan berbagai agenda
reformasi, termasuk reformasi dalam dunia pendidikan yang ditandai dengan
proses desentralisasi yang diimplementasikan pemerintah melalui UU nomor 22
tahun 1999 tentang otonomi daerah kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Undang-Undang tersebut dapat
ditangkap prinsip-prinsip dan arah dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan
mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan
kabupaten/kota. Kewenangan tersebut yaitu:
1. Kewenangan Pemerintah Pusat
a. politik luar negeri
b. pertahanan
c. keamanan
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
2.
Kewenangan Pemerintah Propinsi
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota
j.
pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota, dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
3. Kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
d. penyediaan sarana dan prasarana umum
e. penanganan bidang kesehatan
f. penyelenggaraan pendidikan
g. penanggulangan masalah sosial
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil dan menengah
j.
pengendalian lingkungan hidup
k. pelayanan pertanahan
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. pelayanan administrasi penanaman modal
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
perundang-undangan
Dalam sistem desentralisasi pendidikan di Indonesia
ini, ada satu pertanyaan terpenting tentang arah desentralisasi pendidikan
tersebut, yaitu sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi kewenangan
yang lebih besar menentukan kebijakan-kebijakan organisasi dan proses
belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah,
dan sumber-sumber pendanaan sekolah. Karena pada dasarnya desentralisasi
pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan
pendanaan yang lebih besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi pemberian
kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat
merencanakan proses belajar-mengajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah.
Konsep
desentralisasi pendidikan ini pada mulanya memang banyak membawa harapan bagi
kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita. Orang banyak yang menaruh optimis
jika pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan-perubahan yang cukup
signifikan. Namun dalam praktiknya, masih banyak kalangan yang meragukan
eksistensi kebijakan pendidikan nasional Indonesia. Berbagai kebijakan
pendidikan justru dianggap kontroversial sehingga menuai kritik. Mulai dari
Ujian Nasional, kasus privatisasi pendidikan, subsidi pendidikan setelah kenaikan
BBM, dan lain sebagainya. Belum lagi jika berbicara tentang kualitas pendidikan
tersebut. Untuk itu, sepertinya pemerintah perlu berbenah diri dalam memaknai
serta mengaplikasikan makna desentralisasi secara menyeluruh demi menciptakan
pendidikan yang berkualitas.
Meskipun
demikian, kebijakan desentralisasi
pendidikan tidak harus disimpulkan gagal untuk dilaksanakan. Ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan
peluang bagi keberhasilan implementasi berikutnya. Berikut ini disajikan
hasil analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan
di Indonesia. Analisis SWOT ini dibuat berdasarkan kajian kualitatif, bukan
kuantitatif. Analisis ini dibuat dengan merujuk hasil-hasil kajian dan
referensi tentang desentralisasi pendidikan yang sudah ada, termasuk buku dan
publikasi yang relevan. Berikut ini hasil identifikasinya melalui analisis SWOT.[14]
a.
Strength (Kekuatan)
Jika
digunakan analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi
pendidikan ini, maka ada beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai
faktor kekuatan, yaitu:
1.
Secara politis kebijakan desentralisasi
pendidikan telah dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan kebijakan yang
populis.
2.
Proses kelahirannya dikawal sedemikian
rupa oleh para pakar pendidikan dan digiring sedemikian rupa menjadi agenda
pemerintah oleh kalangan politisi, baik yang ada di parlemen maupun yang ada di
partai politik.
3.
Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi
pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era
persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya
kompetitif yang tinggi.
4.
Adanya dukungan anggaran yang cukup besar
bagi pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana dicerminkan dalam APBN sejak
tahun 2003. Yaitu bahwa anggaran untuk sektor pendidikan secara nasional adalah
20% dari total pengeluaran pemerintah pada APBN 2003.
5.
Kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari
diakuinya eksistensi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan bidang pendidikan di daerah masing-masing.
b.
Weakness (Kelemahan)
Disamping
adanya kekuatan-kekuatan sebagaimana dikemukakan di atas, kebijakan ini juga
memiliki sisi kelemahannya, antara lain adalah:
1.
Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan
pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan,
khususnya pemerintah daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh justru cenderung
menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
2.
Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah
(Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya
masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
3.
Belum adanya pengalaman dari
masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan
di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga
dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan akan dijadikan
komoditas bagi pemerintah daerah tertentu untuk tujuan-tujuan jangka pendek.
4.
Belum bersihnya aparat birokrasi dari
mentalitas dan budaya korupsi.
5.
Belum jelasnya pos-pos anggaran untuk
pendidikan.
c.
Opportunity (Peluang)
Berikut
ini diinventarisir sejumlah faktor yang diduga kuat dapat menjadi faktor
peluang bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan,
yaitu:
1.
Adanya semangat yang kuat dari masyarakat
untuk menjadikan implementasi kebijakan ini (harus) berhasil, karena munculnya
kebijakan ini disadari bersama sebagai keinginan masyarakat banyak.
2.
Adanya semangat dari kalangan masyarakat
untuk turut serta mengawasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan di
daerah masing-masing. Bahkan muncul banyak LSM atau lembaga non-pemerintah yang
merelakan diri memonitor dan mengawasi pelaksanaan kebijakan ini.
d.
Threat (Ancaman/Tantangan)
Selanjutnya
adalah faktor ancaman. Ada beberapa faktor yang diduga menjadi faktor ancaman
bagi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
1.
Tidak meratanya hasil prestasi pendidikan
dilihat secara nasional karena sangat dimungkinkan munculnya variasi kualitas
di masing-masing lembaga pendidikan, baik di dalam satu wilayah daerah, maupun
dibandingkan dengan daerah yang lain.
2.
Faktor tidak meratanya kualitas guru di
masing-masing daerah juga diduga sebagai ancaman.
Melalui
analisis SWOT diatas pada tahun 2005 dalam implementasi desentralisasi
pendidikan, sekali lagi belum dikatakan gagal. Selanjutnya sebagai tindak
lanjut atas kelemahan dalam desentralisasi pendidikan dewasa ini di Indonesia
telah mencoba mencari formula untuk dilaksanakannya sebuah kurikulum yang
berorientasi pada setiap sekolah. Kurikulum tersebut yaitu kurikulum KTSP, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ini
sungguh-sungguh merupakan suatu loncatan yang sangat berarti baik dilihat dari
segi ilmu pendidikan maupun dari politik dalam pertumbuhan demokrasi dalam
masyarakat Indonesia. Meskipun penyusunan KTSP yang kemudian diatur melalui keputusan
Menteri ternyata masih ada kekurangan dalam pelaksanaanya di daerah. Demikian
pula kurikulum yang seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah ternyata
bersifat sentralistik dan intelektualistik. Pendidikan dasar yang seharusnya
didasarkan dan terarah pada kebutuhan daerah dan budaya daerah, ternyata masih
mempunyai alokasi waktu yang sangat minim.[15]
Akan tetapi dengan loncatan ini, celah kekurangannya akan terlihat untuk
mencari formula baru untuk mengaplikasikan desentralisasi pendidikan yang
diharapkan bersama.
BAB III
KESIMPULAN
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan momentum yang sangat
tepat untuk mereformasi penyelenggaraan pendidikan dari aspek birokrasi,
pendanaan, dan manajemen pendidikan. Desentralisasi pendidikan yang efektif
tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih
besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi desentralisasi juga harus
menyentuh pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah dalam
menentukan kebijakan-kebijakan organisasi dan proses belajar-mengajar,
manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumber-sumber
pendanaan sekolah.
Salah satu tujuan desentralisasi pendidikan adalah berusaha
untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap
persoalan-persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan
oleh unit di tataran bawah atau pemerintah daerah, atau masyarakat. Dengan
demikian, diharapkan bisa memberdayakan peran unit di bawah atau peran rakyat
dan masyarakat daerah.
Tapi tentu saja setiap kebijakan yang dibuat, tentu tak lepas
dari permasalahan di sana-sini. Begitu juga dengan implementasi kebijakan
desentralisasi pendidikan di Indonesia yang tak terlepas dari plus-minusnya.
Meski begitu, bukan serta merta kebijakan desentralisasi pendidikan mesti
disimpulkan sebagai produk yang gagal untuk dilaksanakan. Karena ada hal-hal
yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan implementasi dari
desentralisasi pendidikan tersebut. Yang perlu dilakukan adalah senantiasa
melakukan pembenahan dan penyempurnaan dari semua pihak yang terlibat; baik
langsung maupun tidak langsung dengan dunia pendidikan. Sehingga tujuan mulia
dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan di tanah air benar-benar dapat
terwujud dengan sempurna.
Daftar Pustaka
H.A.R. Tilaar. 2009. Kekuasaan
dan Pendidikan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Mulyasa, 2005. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Rifai, Muhammad. 2011. Politik
Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Suryosubroto, 2004. Manajemen
Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Renika Cipta
Umiarso dan Gojali,
Imam. 2010. Manajemen Mutu Sekolah di Erra Otonomi Pendidikan.
Yogyakarta: IRCIsoD
Widarta. 2005. Cara
Mudah Memahami Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah daerah.
Bantul: Pondok edukasi
Alisjahbana, Armida S.
2000. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Pendidikan, Bandung: Universitas Padjadjaran
Mu’arif. 2008. Liberalisasi
Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa, Yogyakarta: Pinus
Albab, Ulul. 2005. Perbandingan
Kebijakan Pendidikan AS-INDONESIA Surabaya: Makalah Seminar
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[1] B.
Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta:Renika Cipta,
2004), hlm 203
[2] I.
Widarta, Cara Mudah Memahami Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, (Bantul: Pondok Edukasi, 2005), hlm 114
[3] UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 2 (3)
[4] UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 10 (1)
[5] UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 10 (2)
[6] UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 13 (1/f)
[7] Umiarso
dan Imam Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di era Otonomi Pendidikan,
(Yogyakarta: IRciSoD, 2010), hlm. 47-48
[8] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah,
(Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm 22
[9] Muhammad
Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),
hlm, 224
[10] Ibid.,
hlm. 225
[11] Armida
S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Pendidikan, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 2000), hlm 2
[12]
Mu’arif, Liberalisasi Pendidikan: Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa,
(Yogyakarta: Pinus, 2008), hlm 7
[13] Ibid., hlm 16
[14] Ulul
Albab, Perbandingan Kebijakan Pendidikan AS-INDONESIA (Surabaya:
Makalah Seminar, Oktober 2005), hlm 85
[15] H.A.R.
Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm,
17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar